Kumpulan Puisi Kompas

Arsip Puisi Mingguan Kompas Terbaru

Puisi Hasan Aspahani

leave a comment »

Berjalan di Jakarta Sambil Menafsirkan Bob Dylan

1. 
CINTA tak terdengar di kotak suara
tak berjejak di balairung istana
tak dibicarakan di kantor ketua partai

Mereka memakai jas dan baju dinas
menyembunyikan rencana-rencana besar
pemindahan kekuasaan, pembagian wilayah kejahatan

Dan rencana menemui wartawan
di luar pintu ruang pertemuan
menjawab pers dengan seringai manis
(dengan kalimat lain untuk pernyataan:
kami tahu bahwa kalian
pura-pura tak tahu)

2.
Tetesan hujan lebat itu menjadi tali
(maaf, ya, ini memang bukan sajak imajis)
dengan dingin dan runcing duri
terjeratlah musim-musim yang mati
tak sempat datang ke undangan pernikahan
sepasang anak muda dari bonus demografi

Malaikat-malaikat membisu
lupa semua lagu yang hendak mereka nyanyikan

Dan kabut lepas, dan tertutuplah permukaan tanah

3.
Ada seorang yang sedang menua
digiring ke penjara. “Namaku kearifan,”
katanya. Dia, seperti orang pergerakan,
membusuk dengan luka, di Glodok, di sel-sel penjara,
di rumah tahanan Bukit Duri,
di kam interniran Garut dan Sukabumi
tapi jejak-jejak itu pun tak berjejak lagi
tertimpa cahaya pusat perbelanjaan,
kafe, gerai La Sensa, gerai jam,
dan toko pengulak Apple.

4.
Seorang bertanya, “Adakah cermin di rumahmu?”

Seorang menjawab, “Aku berkaca di kamera ponselku,”
Di situ sekarang hidup mereka bekerja.
Dari aplikasi ke aplikasi: kitab digital
(yang tak pernah dibaca), Twitter, Gojek,
Soundcloud, Spotify, dan IG.

Aku menyeberang jalan ke kantor cabang bank,
mengelak dari kematian, yang dilaporkan Waze,
pada wajah penjaga lapak koran.

Mungkin dia yang terakhir dan satu-satunya
yang bertahan, meskipun telah lama
ditinggalkan pelanggan.

5.
Berapa saldo keberanian Anda tersisa?

Petugas bank itu menanyakan nama ibu
dan kapan terakhir bertransaksi
(aku bertanya lagi, karena tadi kudengar
kata transformasi, atau transisi)

“Apakah di rumah Anda memelihara hantu?”

“Kapan terakhir Anda berbicara
dengan anak-anak atau melihat dia tertidur
dengan mimpi yang tak kau kenali lagi?”

Aku tak sempat menjawab,
ketika sebuah notifikasi muncul di layar
telepon pintar: manfaatkan tawaran terakhir
diskon untuk kavling terbaik San Diego Hills.

Matilah dengan mudah,
bayangkan upacara pemakanan
dengan duka cita yang mewah.

6.
Angin busuk, dari bangkai yang disembunyikan,
seseorang hendak diselamatkan dengan pidato
yang ditulis oleh penulis teks iklan.

Angin lebih busuk, berhembus dari bait Thukul
memperbusuk udara yang semakin busuk, yang melekat
di tiang-tiang penyangga MRT, yang tak tercium
oleh penumpang, yang naik di Lebak Bulus, dan
turun di Senayan, melewati taman-taman yang
hendak ditanami sanseviera, lidah mertua.

Aku tiba-tiba lapar, dan ingin makan sate.

7.
Kota ini, tumbuh dan tersiksa
takut dan kesepian, tak lagi menjadi
diri sendiri, dan ditinggalkan, atau
menerima tamu-tamu yang tak saling mengenal,
“Aku ini siapa? Penjaga stand pameran kerajinan
atau bursa otomotif? Festival hijrahh, konser
reuni Slank, atau pesta stand up comedy?”

Kota ini tak mengerti apa yang dia tanyakan itu,
seperti aku tak tahu kenapa harus ada di sini.

Berdiri bego, di depan spanduk dan umbul-umbul.

8.
Dengan menunggangi kemacetan, masa
yang berarak-arakan, dengan bendera dan
menyerukan nama Tuhan, semacam pelesir
membawa fatwa, mengelilingi segala kemungkinan

Kita bisa tiba-tiba berada di mana saja

Juga di tali gantungan yang tadi menjelmma
dari jatuhan hujan, atau menjadi seiris bahan
pada lembar preparat, atau di pintu penjara
yang lain, di sebelah kepala daerah yang baru saja
dibawa ke Jakarta, setelah operasi tangkap tangan.

Seorang penyair berlatih, cara terbaik
membacakan, “Hanya ada satu lawan: kata!”

Lalu ia pergi, katanya ia hendak mencari
orang-orang yang dulu hilang dan dihilangkan.

9.
Sungai dan dam, waduk dan genangan,
hujan lebat tadi juga menjadi jaring di atasnya
(memang, ini semakin jauh dari sajak imajis)
gagasan-gagasan yang mati dilemparkan
ke sana, meracuni air yang mengalir
kr pipa-pipa ke rumah kita, melalui
truk-truk tangki, atau galon air bermerk
dengan huruf, A, Q, U dan A.

Itulah jalan keluar paling mudah
untuk masuk lagi ke persoalan yang sama
yang tak pernah bisa kita selesaikan.

Kita tak segera mati,
tapi tubuh kita telah menjadi kuburan,
mayat-mayat tak selesai ditimbun,
kita bertengkar, tentang apa yang harus
dituliskan di batu nisan, sebelum
doa pengantar selesai dibacakan.

10.
Kota ini perlu lebih banyak museum
dan waktu luang, taman yang tak jauh dari
stasiun, dan cukup sepersepuluh kursi
lembaga perwakilan, ruang-ruang mesum Senayan.

“Kami tak pernah minta mereka menjadi
perwakilan kami,” kata pedagang buku bekas,
yang sedang membungkus rapi
buku Risalah Sidang BPUPKI,
“Ini buku langka,” katanya, “sangat langka.”

Aku berlalu dari lapak itu

“Saya ada di Tokopedia!” teriak si pedagang
sambil mengunggah gambar
dan mencantumkan harga.

11.
Cinta mungkin ada di jalan ini,
jalan kecil antara Sabang dan Kebon Sirih
pada jam makan siang, dan pegawai negeri
punya alasan untuk menunda pekerjaan,
dan karyawan swasta sembunyi sebentar
dari target dan laporan.

Cinta mungkin ada pada sepasang cicak
di balik lambang Garuda Pancasila, yang
bergelut hingga putus ekor si jantan

Cinta mungkin ada pada nama Tuhan
yang kita teriakkan dengan yakin,
untuk menutupi keraguan kita.

Jakarta, 2019

 

Hasan Aspahani lahir di Sei Raden, Samboja, Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur, 1971. Buku puisi terbarunya Aviarium (2019).
Ia tinggal di Jakarta, menulis, dan mengelola http://www.haripuisi.com.

PUISI KOMPAS, SABTU, 28 SEPTEMBER 2019

Written by Puisi Kompas

September 30, 2019 pada 7:00 am

Ditulis dalam Puisi

Tagged with

Tinggalkan komentar