Archive for Mei 2014
PUISI MASHURI
Ikan Buruk Rupa
Di Lembata, cinta telah menjelma mata tombak
Yang rapuh
Dengarkan deritnya yang mengapung di udara, serak
Seperti kerongkongan yang tersumpal minyak
Tak ada janji dari jejalan yang berlubang, juga mimpi
Yang dibuhul ketandusan
Kita pun seperti bintang laut yang terdampar
Di pasir panas, menggelepar
Tapi dari kisah ikan-ikan, dengan buruk wajah, tapi
Berdaging renyah
Terajut rahasia
Seperti rumput-rumput laut yang menenun kesabarannya
Di delta, memberi makna pada keluasan cakrawala
Bahwa di petak sempat, tempat berkubang jejak-jejak keparat
Mimpi bisa menjulang, menjadi kiblat
Bagi rupa yang hilang Baca entri selengkapnya »
PUISI KEDUNG DARMA ROMANSHA
Bulan Gendut Itu Menatapmu
aku melihat bulan gendut mengapung di langit.
bulan itu berwarna kuning.
bulan itu menatapku,
bulan itu kini mengapung di mataku.
bola mataku kini berwarna kuning
seperti bulan gendut di langit itu.
dan aku melihat
langit dan malam menjadi kuning
karena terang bulan itu. Baca entri selengkapnya »
PUISI YETTI AKA
Ingatan
betapa benci aku pada sebuah ingatan
kupikir kalau ingatan sebuah kotak,
aku hanya ingin mengisinya saja dengan macam-macam buah;
stroberi, sawo, apel, ceri, mangga
tapi kau ada di dalamnya
seperti seekor serangga
dengan sayap berdengung-dengung
ah, betapa bencinya aku
membayangkan matamu yang mirip cermin itu Baca entri selengkapnya »
PUISI TRIYANTO TRIWIKROMO
Muslihat Membunuh Hikayat Hujan
(Variasi untuk film Reign of Assasins)
-Biksu Bodhi
aku datang dari benua mimpi gelap. Aku tak akan mati
di Pegunungan Jinhua yang pangap.
kau boleh saja menyangka aku mati
di Pegunungan Xionger penuh duri, tetapi sesungguhnya kisahku
baru dimulai saat jasadku dicuri.
saat itu juga aku menjadi ibu yang melahirkan cerita-cerita baru,
melahirkan gerombolan Batu Gelap yang dipimpin oleh Raja Roda
(kasim yang selalu ingin punya kumis melintang), menghidupkan
Hujan Rintik, ratu pedang berbahaya yang sepanjang waktu takut
pada hujan, membangkitkan Zhang Renfeng dari kuburan di bawah
tetapi mengertilah aku sesungguhnya hanya kabut. Teka-teki kecil
sebelum kausebut nirwana dalam sembahyang-sembahyang angkuhmu
menjelang pertempuran. Baca entri selengkapnya »
PUISI DODY KRISTIANTO
Tuba
Kau yang tak liat beradu
di atas memasrahkan
ketaklukan ini padaku:
Tak silap tafsirmu, aku yang
dimunculkan dari pati yang tak
dikehendaki mengerti ihwal
melengoskan perihal berhadapan.
Yang di kejauhan akan berserah
pada pelukan, lebih-lebih,
ciumanku. Apabila berterima,
mampus si musuh utama meski
masih disimpannya gelagat rahasia
yang bisa membuatmu berbalik
arah. Lalu kuputarbalik jalan
darahnya. Kuaduk-aduk semesta
uratnya. Berbaliklah arah amatan.
Atas tak bawah, bawah tak atas.
Tak lagi dia tangkas membeda
darah anjing, kuda, kambing, naga,
atau muntahan mambang. Tak
perlu aku mahir berakar di tanah
atau bertopang tiang tegak. Cukup
sedikit kesiur mengudara. Siutku
tak luput menyapa jantung Baca entri selengkapnya »
PUISI ZAIM ROFIQI
Kata
Kumasuki sebuah kata yang menghubungkan,
menyatukan kita.
Sekumpulan huruf yang membuat ia, dia, kau
juga mereka, percaya
lalu perlahan mencoba
mengerti dunia.
Di dalamnya kau lihat jembatan,
perumahan dan jalanan
berderet, bersisian.
Pohon-pohon tumbuh rindang,
taman dan gang demi gang, Baca entri selengkapnya »
PUISI FARIQ ALFARUQI
Di Jalur Harimau
Berbaliklah, sebelum sugaku sampai ke lambung.
Sebelum benakku tak lagi bisa menghitung
mana yang patut disebut, mana yang pantas ditebas.
Pulanglah selagi jalan para peladang
masih berjejak di pintu rimba.
Selagi berkas cahaya, masih membekas
di kerjap mata.
Sebab bila malam telah mengekal
dan suara tetabuh gendang
ditelan rimbun batang jejal berjejal,
yang hilang tak bakal bersua
yang pergi tak akan kembali.
“Di tingkah bunyi rasa, aku gamang.
Pada sahutan bansi dan pupuik batang padi
memang dibikinnya aku menoleh ke belakang.
Tapi yang termakan tidak untuk dimuntahkan lagi.
Sekali berjalan, tak laut usai dikayuh, tak gunung habis didaki.”
Kalau begitu bahasamu, kau dengarlah aumku:
Penembak jitu bersembunyi di balik rumpun bambu
petarung handal menanti di padang datar
penggulung ulung bersiasat di lembah sempit.
“Biar rengkah dadaku, biar dicabik nyawa dari badan
aku tetap bakal lalu, aku akan tempuh itu sekalian jalan.”
Kandangpadati, 2014
Matinya Kuda Pelajang Bukit
Kuda pelajang bukit, di mana kau sembunyikan rasa sakit.
Jika langit yang rubuh kau sibakkan saja dengan kibasan kepala
bumi yang bergetar hanyalah ngilu kuku
sekedar pengelupas lumpur yang mengering di kakimu
dan tak segetar bulu pun mampu memberi tahu
seandai angin tak pernah berhenti mengirim badai.
Mengirim sensai.
“Tiba di gurun, telah aku seru angin berdesir
aku himbau lipan, kalajengking, ular segala bisa
agar kami, si kuda dan si penunggang tuba
terkubur selamanya dalam lautan pasir.
Sampai ke padang, sampai di yang lapang dan lengang
berkali aku patah pinggang, berkali pula kaki ini pincang.
Tapi malang sebentar malang, kalian tahu, pepatah
telah mengutukku menjadi seekor kuda
yang tahan dengan segala cuaca.
Segala terpa.
Kuda pelajang bukit, beri kami tanda selain rasa sakit.
Seperti stempel tuhan di kening orang-orang suluk
atau serupa rajah yang diguratkan di kulit orang-orang mabuk.
Sebab sesudah harimau mati meninggalkan belang
setelah gajah mati meninggalkan gading yang panjang
tak ada lagi umpama baik bagi kami
selain kisah-kisah yang dilantunkan berulang.
Sebab telah kami runut jejakmu di sepanjang jalur orang lalu
kami tebar suraimu ketika peraduan angin bertemu
tapi tak juga ada yang bisa kami kenang selain rasa sakit itu.
“Kalau begitu inginmu, sebut aku si kuda patah kaki penarik bendi.
Kuda patah pinggang berpacu dalam gelanggang.
Kuda pandai jadi tunggangan, kuda pandir penumpang beban.”
Oh kuda perih bahasa.
Kandangpadati, 2014
Kuda Bendi Pengobat Demam
Setelah jeruk purut dikebat benang tujuh warna
tiga butir labu sudah ditanam dalam kubur leluhurnya
dan seulas bawang merah dicampur minyak tanah juga telah bekali
dioleskan ke selingkar pusarnya.
Inyiak Talago Batuah itu berkata:
“Meski seribu jin raja alam dipanggil
segala penghuni bunian ambil andil
ikut juga yang halus-halus dan kecil-kecil
tak bakal sembuh ia punya demam panas menggigil.”
Oh, ke mana lagi akan aku kadukan
orang pintar di darat sudah aku turut
syekh berjenggut panjang di pesisir sudah aku jalang
serentang tangan telah kujangkau, sekuat bahu sudah kupikul.
Tapi alamat sembuh melayang saja seperti asap dupa.
Memercik saja serupa air kembang sekian rupa.
Tapi Inyiak Talago Batuah itu tertawa:
“Panggil mantri, yang berlebih mesti dipangkas
masa kanaknya mesti dilepas.
Kabari orang sekampung, pilin tampuk buat nangka,
Gelegakkan santan air kelapa, sembelih jawi.
Arak ia berkeliling kampung
bakal jadi obat mujarab hati yang murung.”
Kandangpadati, 2014
Sasaran Harimau
Aku tak menyuruhmu mengasah punggung pisau
supaya kelak kau tinggalkan jejakmu
di jalur orang-orang lalu.
Aku tak memintamu menyimpan perca putih
demi alasanmu membentangkan sorban di selingkar negeri.
Ayam hitam tak disembelih
untuk lapar harimau dalam perutmu.
Juga bukan untuk mengundang harum
kemenyan itu dibakar untukmu.
“Ini, Engku, sekarung beras untuk kesusahanmu, kegelisahan itu.”
Meski ke padang datar kau berguru
dan kau beroleh rusa belang kaki
yang menyimpan seribu langkah
untuk melayang ke atas tanah.
Telah kau khatamkan rimba sempit dan berbukit
hingga diammu tak terbaca mata
terkamanmu tak terlacak arah.
Percayalah, sekali saja kau mengaum
akan ada yang menandaimu
sebagai musuh satu kaum.
Sekali saja kau menajam-najamkan kuku
bakal ada yang mengirimkan tinggam
tepat di jantung itu
menyisipkan tuba
pada sisa makan malammu.
Sebab ini ilmu bukan sembarang ajar
dijangkau dari puncak gunung
ditarik dari dasar palung.
“Jangan ragu, Engku. Ubun-ubun kepalaku berjumlah genap, Guru.
Kabarnya aku cucu Inyiak Balang.
Delapan harimau berkeliaran dalam tubuh leluhurku.”
Aku tak memintamu datang ke ini sasaran
aku tak bakal menahan jika kau memilih pulang.
Kandangpadati, 2014
Fariq Alfaruqi lahir di Padang, Sumatera barat,
30 Mei 1991. Sedang belajar di Jurusan
Sastra Indonesia Universitas Andalas. Bergiat
Di Ranah Teater dan Komunitas Kandangpadati.
PUISI KOMPAS, MINGGU, 4 MEI 2014