Posts Tagged ‘Riki Dhamparan Putra’
Puisi Riki Dhamparan Putra
Membaca Susi untuk Ayu di Payakumbuh
Susi yang sekarat
Tak akan tamat karena puisi mengunjungimu
di Payakumbuh
Marilah kita ucapkan salam
Kita jamu dengan sekepal lumut masik
batih jerami
getar sayap kumbang papan
Andai andai-andai
Andai anai-anai yang memahat tangga ke rumah gadang lama itu
melepas bebannya
Apakah Susi akan runtuh
Tentu Susi tak akan runtuh
Kecuali kita hanya punya satu leluhur saja yang jenaka
Ialah yang menukar besi jembatan
dengan mayat pekerja rodi
kegembiraan dengan riwayat perang
sawah ladang dengan potongan bambu
berani mati
Bagi leluhur yang seperti itu
hanya ada satu pembebasan saja di dunia
: lagu puja kepada bunga-bunga
Untunglah tanah ini tak pernah kekurangan kata-kata
Kata-kata tak pernah selesai
Tiap orang bagai gelanggang bagi menempa kata-kata
yang tak selesai-selesai
Tapi aku masih saja ragu semua itu bakal mengantarku padamu
Apakah engkau akan rela bila kukata batang Agam
bukan lagi batang Agam namanya
bila aku di Tambun Ijuk, tapi kukata aku tak melihat pohon enau
Apakah engkau rela
bila aku hanya segenggam abu pendiangan
di tungku yang pucat pasi
pemanas antikarat
panci teflon berisi kotoran Susi?
PUISI RIKI DHAMPARAN PUTRA
Meminang Pamakayo
Tukang kebunkah
Atau hanya burung kehi yang bisa menyeru hujan
agar turun ke Pamakayo
Aku akan mendaki
Agar kutemukan untukmu pematang-pematang batu penuh ilalang
bukit jurang,
beras padi merah,
sulur-sulur jewawut mengejang
di lereng-lereng beralas karang rengkah
Tak ada perigi di sana
Tapi aku mendengar suara orang menimba
Aku melihat tujuh ekor merpati datang dari pusar cakrawala
Lalu mengambil air yang tersembunyi di kebun seorang nenek raksasa
Kata orang
Salah satu dari merpati itu tak dapat lagi kembali
Isi kendinya tumpah dan menimbulkan bah di bumi
Memisahkan daratan menjadi pulau-pulau yang dikelilingi teluk-teluk sunyi
Kata orang juga
Ia dinikahkan dengan seorang manusia
Sebagai hukuman bagi penghuni langit tang telah mencuri air
dari kaki gunung-gunung di Solor Wetan Lema
Sejak itu
Antara langit dan bumi ada sebuah jembatan bianglala
Berasal dari tangis si merpati yang merindukan negeri asalnya di surga
Aku mendaki
Aku singgahi engkau pada pondok-pondok kayu yang ditinggalkan
aroma moke,
darah hewan persembahan,
batu-batu suku mengerang dalam rentak tarian
Bila lelah
Aku akan istirahat di bawah dahan pohon randu yang patah
Agar kudengar apakah
Tunasnya sudah tumbuh untuk memberi kabar baik
Waktu pesta di akhir musim peceklik
Agar kucukupkan untukmu cerita
Di dalamnya aku menitipkan sehelai kawate yang lusuh dan pudar
Sajak-sajak ringan yang kutulis
ketika kapal-kapal bertolak mengulak ombak
di bandar-bandar
Hanya itulah balaku
Hanya itulah ketipaku
Aku tak dapat mengisi bewaya selain sirih pinang
Bahkan sedahnya yang pahit telah tercampur garam
Maka siapakah yang begitu tulus menyeru hujan
agar turun ke Pamayako
Aku mendaki
Aku temui engkau pada surga pohon bidara
Tempat damai bagi bocah-bocah yang memburunya
dengan gembira
Juni 2013
Aroma Dendeng Kotoklema di Rantang Opu Sidiq
Ampunilah aroma belalang di rantang Opu Sidiq
Sebab ia mengandung candu laki-laki
darah laut yang panas
jantung matahari
mata lamafa yang awas membunuh buih
hingga ke batas yang paling jauh
Ampunilah bukit-bukit yang melepuh
gurun-gurun bugil
jalan kampung yang rusak
arwah-arwah yang memberkahi persabungan
dengan ludah sirih dan tuak kecut
Dan di atas semua itu ampunilah garam
Ampunilah buah asam
Ampunilah golok yang mencincang daging di tatakan kayu
Tangan yang melumat bumbu dengan sebuah penggiling batu
Ampunilah menu makan siang kami yang sederhana
Dendeng paus musim lefa
Juli 2013
Petilasan Seekor Monyet
Monyet besar ini tak seperti monyet lagi
Tangan siapakah yang mengikatnya dengan kain
dan selempang
Mengajarnya bersuci
Lalu mengirimnya ke gua-gua petilasan
Ia masih tampak jenaka saat
kutemukan terbungkus pada selembar sampul kulit yang dekil
Bulu tubuhnya belum dicukur
Dan gelungnya masih utuh memendam seluruh rahasia waktu
Namun kenapa ada bau sabun pada jejaknya
Apakah ia sedang mandi
Atau hanya bermain-main dengan riak segara
Lalu keluar dengan terburu-buru
Keluar seperti bocah yang berlari pulang tanpa mengenakan baju
Ia tak seperti monyet lagi
Walau kadang-kadang enggan menampakkan muka
Tapi ia tak pernah benar menjauh dari sesiapa yang mencari
Kadang-kadang dikejarnya mereka dengan sepucuk kudapan segar
Dari daun-daun yang tak akan busuk dan tua
Dari taman rambat dan perdu gurun yang membesarkan ternak
dengan peluh dan tapa pengembala
Beruntunglah gunung-gunung yang ia agungkan dengan
sujud
ia selimuti dengan kabut dan rasa takut
Juga perahu-perahu nelayan di samudra
Beruntunglah mereka
Karena dilanun angin lengang
Angin yang menghalau buih pulang ke asal gelombang
Tapi monyet besar ini
Apakah yang aku tahu tentang kisahnya
Bukankah ia hanya cerita pengantar tidur
Hanya kadang-kadang kami bertemu di bilik
kontrakanku yang sedih
di pinggir tol menuju pusat kota
di mana monyet-monyet tumbuh dan bertempur
untuk menjadi cerita sehari-hari yang tak bermakna
Ia tak mengatakan apa-apa
Aku tak mengatakan apa-apa
Jakarta, 2013
Tugu-tugu Kota Bau-Bau
Nanas palsu. Kota Bau-Bau menjelang pilkada
Kalau bersisik katakan ikan, berpayung katakan raja
Jangan kau bungkus dengan umpama
Sebab kalau kau sobek tapi tak menitik darah
Atau bila tampukmu patah tapi tak menitik getah
Siapa yang menanggung rahasianya
Tugu berlumut
Ataukah muka yang masam?
Aku juga heran kenapa pintu bandar
harus dijaga seekor naga
mengapa bukan ubur-ubur
Mengapa tidak membuat bantal untuk mengapung
di atas ombak yang tak pernah tidur
Mimpi pulang ke negeri asal
Melabuh pada terowongan-terowongan runtuh
berisi manyat aspal
penakar logam
kepingan gerabah
lembaran uang kain terselip di antara tumpukan silsilah
di loteng rumah
Silsilah palsu. Di dalamnya hanya ada satu singgasana kosong
Itu pun sebuah tiruan
Agar sesiapa yang duduk di atasnya
Tidak mangkir dari perjanjian yang disurat pada tulang manusia
Disahkan dengan sebuah cap biru dari kapal karam
yang diselamatkan dari perairan Kabaena
Bukan cap yang mengada-ada
Seratus tahun setelah tembok keraton dibangun
La Karambau yang gagah berusaha merebutnya
Tapi ia terusir
Pengikutnya diburu
Satu-satunya yang selamat hanyalah tempat lari
Tersembunyi di balik gua-gua keramat
di bukit Siontapina yang sunyi
Ke situlah sajak ini diantarkan
Orang-orang mendaki tanpa alas kaki
Pondok-pondok dibersihkan
Para tetua mengaruh
di rahim batu yang telah melahirkan raja-raja
dari sebatang bambu di kesunyian hutan
Sajak palsu. Kota Bau-Bau menjelang pilkada
Ratusan tahun lalu aku pernah tersesat
di tengah pesta yang sama
Ngibing semalam suntuk
Kendi perak penuh arak dituang
ke gelas tamu-tamu yang sudah oleng
karena mabuk
2012
Riki Dhamparan Putra lahir 1 Juli1975 di Kajai Talamau, Sumatera Barat.
Kumpulan puisinya berjudul Percakapan Lilin (2004).
Kini ia tinggal di Jakarta.
PUISI KOMPAS, MINGGU, 20 Okteber 2013