Kumpulan Puisi Kompas

Arsip Puisi Mingguan Kompas Terbaru

PUISI MARDI LUHUNG

with 2 comments

Gresik: Telur Bebek dan Leher

 

Ada amsal tentang kenangan awal. Kenangan pada jajaran rumah yang

berubin tebal dan bertembok tinggi. Serta patung kilin yang bersiaga di

tempat ibadah. Patung kilin yang menyimpan wujud mustika di delapan-

belas bagian tubuhnya. Juga tentang telur-telur bebek yang tergeletak di

sepanjang got kering sebelah trotoar. Telur-telur bebek yang dipunguti oleh

tangan si kanak. Tangan yang kini telah dewasa. Yang diam-diam juga ingin

memetik matahari sebelum lingsir. Atau mewarnai kulit delima agar tetap

merona. Semerona ibu yang telah jadi bidadari. Bidadari yang setiap bersedih,

berziarah ke makam Tuan Maulana. Dengan air mata berlinang.

Juga dengan kerudung yang berjuntai menawan.

 

Dan ada amsal tentang kenangan berikutnya. Kenangan pada aroma yang

memberat. seberat napas yang membau sengak. Yang mengingatkan bau

asap yang mengepul dari sekian cerobong. Sekian cerobong, yang jika

gerhana tiba, bergerak dan berjalan tegap. Seperti seregu sedadu yang

berbaris-baris. Berderap. Berderap. Berderap. Dan sesekali memeragakan

kerancakan jalan di tempat. Kerancakan yang membuat permukaan pantai

jadi bergoyang. Sampai tiga ikan buntal yang berenang, pun seketika

membuntalkan perutnya. Sebab menganggap, ada musuh yang akan

menyergap. Musuh yang mungkin terang. Mungkin gelap. Atau malah

mungkin samar. Tapi amat dekat. Sedekat urat leher.

 

(Gresik, 2016)

 

 

Reruntuhan Kedaton

Setelah menyesap kopi. Setelah membaca pesan pendek

yang masuk: “Dimana Kamu?” Setelah mengetahui, jika

pohon-pohon delima di bukit sudah jarang tumbuh. Dan

setelah merasa, jika kursi yang terduduki mulai hangat.

Maka, terlihatlah daun-daun pring kering yang melayang

ringan. Jatuh ke reruntuhan kedaton. Menangkup di tanah.

Lalu setelah kembali menyesap kopi. Setelah melambai pada

yang tiba-tiba lewat. Setelah melihat jam yang menunjuk

pukul satu siang. Dan setelah menggeliat sebentar. Maka,

teringatlah pada sepasang naga (yang kabarnya) melata

pelan ke gerbang reruntuhan kedaton. Terus menggaib

di tempat. Menggaib dengan mulut menganga. Seakan

ingin mencaplok yang datang dengan niat buruk.

Apalagi ingin berlagak tanya: “Kenapa undak-undakan

ke reruntuhan kedaton tak bisa dihitung dengan pasti?”

Setelah tak ada lagi yang ditunggu. Setelah segalanya mesti

beranjak. Dan setelah membaca pesan pendek yang kembali

masuk: “Di mana Kamu? Balas.” Maka, setiap yang menegak

di sekitar teruntuhan kedaton merunduk. Merunduk pada

seratus kuda yang tiba-tiba melintas di langit. Seratus kuda

yang gagah. Yang dulu turut berjaga di jalan-jalan pintas

ke bukit. Sebelum penyerangan itu terjadi. Sebelum pada

akhirnya semua gugur. Dan dimakamkan dengan nisan-nisan

yang bertulis huruf samar. Huruf yang mirip lebah. Lebah

lembut yang diam-diam menyelinap ke kuping yang ada. Terus

ke jantung. Membikin sarang madu di kedalamannya. Dan

sesekali, akan keluar mencari nektar untuk diserap. “Hmm,

sarang madu di kedalaman jantung, adakah yang mahfum?”

(Gresik, 2016

Gunung Wurung

Sore ini istriku makan. Dengan menu sayur bayam kalengan

yang ditambah lauk ikan tiruan. Lauk ikan tiruan yang kini

tinggal tulang-tulangnya: “Tulang-tulang ikan tiruan.” Lalu,

istriku melihat kucing berbulu kawat. Kucing gemuk yang

mengeong-ngeong. Terus melemparkan tulang-tulang ikan

tiruan ke arah kucing. Kucing menerkamnya. Tapi tiba-tiba

tulang-tulang ikan tiruan berkelit. Dan berlompatan. Istriku

kaget. Sebab tulang-tulang ikan tiruan yang berlompatan

dikejar kucing. Seperti mengejar kupu-kupu transparan.

Kupu-kupu yang cerdik dan suka menggoda. Kata istriku:

“Lucu, lucu sekali mereka.” Aku mesem. Lalu hujan datang.

Istriku bergegas mengentasi jemuran di lantai atas dan

membawanya turun. Kali ini hujannya berwarna kuning.

Tak biru seperti kemarin. Atau merah seperti kemarinnya

lagi. Hei, itu suara anak-anak tetangga yang berhujan-hujanan.

Tubuh dan pakaian mereka kuning. Juga kaca-kaca, tanda-tanda

jalan, dan trotoar yang berbentang pun kuning. Semuanya

kuning. Kuning yang terang. Di dapur (setelah melipati jemuran),

istriku memanaskan air: “Kopi segera siap.” Aku mengangguk.

Tapi diam-diam menatap potret di dekat lemari pendingin.

Potret anakku yang sudah lama pergi dari rumah. Mencari

hidupnya sendiri. Hidup yang mengembara ke bumi yang lain.

Tapi tetap merasa begitu dekat. Bahkan saking dekatnya, aku

bisa merasakan rambatan dengus napas rindunya. Lalu, ketika

kopi terhidang (kopi hijau debu meteor), aku dan istriku duduk

di depan televisi. Saat itu, televisi memutar film ganjil. Tentang

tikus yang mampu mengubah wujudnya sesuka hati. Yang pada

akhir cerita, tikus pun merana. Sebab lupa pada wujud aslinya.

“Aku lupa pada wujud asliku, aku lupa pada wujud asliku!”

teriak tikus. Istriku terharu. Terus menghapus air matanya

yang merembes. Sedang, aku, segera masuk kamar mandi.

Di cermin, aku melihat wajahku yang melogam. Tapi mata

kananku kedap-kedip. Sebab, sudah saatnya baterai diganti.

Padahal, hari orbit masih menunjuk angka 33. Dan poliklinik

ulang-alik baru 666 jam lagi berkunjung. Diam-diam sebutir

pil bercahaya aku telan. Dan aku teringat pada legenda purba

yang kemarin aku unduh. Legenda tentang gunung yang

terbang. Lalu jatuh. Terus bangkit. Jadi gunung baru. Gunung

yang lebih gagah. Tapi gagal untuk terbang lagi. Gunung yang

jika ditelisik lebih dekat, selalu saja berdebar dan bergumam.

(Gresik, 2016)

Yang Dibungkus

Ketika meraba kue itu, aku teringat hatimu. Hati yang

pulen. Yang legit. Dan yang dibungkus daun ope

kering persegi. Seperti bungkusan jimat yang dipaku

di atas jendela. Jimat penangkal jin demam dan pilek.

Jin demam dan pilek yang berwujud seperti kartu-kartu

domino. Dengan bulatan lima-enam, satu-tiga, empat-dua,

atau malah balak kosong. Kartu-kartu domino yang

dimainkan di gardu. Dengan gandulan di daun teliga bagi

yang kalah. Dan ketika mengudari bungkus kue itu, aku

juga teringat hatimu. Hati yang berwarna putih tulang.

Putih ngedop. Putih yang sedikit menggoda. Juga sedikit

membuat si pacar cemburu. Pada kabar yang tak jelas.

Tentang si orang lain yang lebih terlihat menawan.

Dan yang lebih terlihat pintar berpuisi dan bercakap.

Padahal, mana ada janji yang menikung jika jalan

terpilih sudah dibentang. Jalan lurus yang menuju ke arah

yang diangan. Lalu ketika menyuguhkan kue itu,

aku (sekali lagi) juga teringat hatimu. Hati yang sesekali

kau suapkan ke mulutku. Sambil tersenyum renyah. Dan

berbisik: “Makanlah hatiku, biar menyatu ke hatimu.

Dan antara kita, hanya ada satu hati yang tepercaya.”

Waktu itu, memang tak ada siapa-siapa. Hanya kita

berdua. Sepasang kekasih yang dimabuk asmara.

Sepasang kekasih yang ingin milik-memiliki. Juga ingin

lebur-meleburi. Meski pada ujung-ujungnya, selalu

kau katakan: “Aku pulang dulu, besok kita bertemu

lagi.” Dan aku, pun kembali kehilangan. Kehilangan

yang tak bisa dijelaskan dengan seksama.

(Gresik, 2016)

 

 

Demi Obituari

: Harsono Sapuan

 

Di potret hitam-putih, pelukis duduk di batu. Di sebelah patahan batang kayu

dan semak ilalang. Hanya sekuntum kembang yang tampak menyala di

genggamannya. Sekuntum kembang yang terbasahi embun. Sekuntum

kembang yang kata seseorang: “Tanda ketika pelukis bersahabat dengan titik,

lengkung, dan wewarna. Terus menuntutnya ke tempat-tempat yang ada di

balik kabut.” Lalu, siapa yang akan ditemui pelukis?

 

Kata seseorang yang lain: “Di sana, pelukis akan menemui apa yang kerap

disebut sebagai ketidaktenteraman.” Yang membuat pelukis telentang di

bawah gerimis yang merendah. Seperti telentangnya seekor ikan nekat yang

megap-megap. Meski, siapa pun paham, kapan segalanya mesti bertahan,

dan kapan pula mesti sebaliknya. Sebab, hukum sebab-akibat bagi daging

dan darah, selalu leluasa mencari kemungkinannya sendiri.

 

Lalu, lewat tatapan mata pelukis dipotret, terlihatlah bintik kecil yang

runcing. Yang saking runcingnya, akan terbayanglah hasrat yang tak

bersyarat. Hasrat yang menjawili pikiran tak galib yang kerap menggeliat.

Pikiran, yang ketika ada tujuh bintang rontok di relung subuh, pun

menggumam: “Kenapa para penghuni yang ada di ketinggian, gemar

melemparkan sisa ledakan kembang apinya ke bawah?”

 

Jika kita membalik potret, akan terbacalah tulisan tipis: “Di sini, mungkin

tempat mamulai. Mungkin juga tempat mengakhiri. Apa yang bergerak tak

mungkin terbalik. Terus memanjang dan makin memanjang.”

(Gresik, 2016)

 
 Mardi Luhung lahir di Gresik, Jawa Timur, 5 Maret 1965. Buku puisinya yang terbaru adalah Jarum, Musim dan Baskom (2015) dan Teras Mardi (2015). Ia tinggal dan bekerja sebagai guru di kota kelahirannya.

 

PUISI KOMPAS, SABTU, 20 AGUSTUS 2016

Written by Puisi Kompas

Agustus 22, 2016 pada 12:23 am

Ditulis dalam Puisi

Tagged with

2 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. salam seni dan sastra, penikmat puisi dan sastramu

    Suka

    rosyid hamdany

    Agustus 29, 2016 at 6:27 am

  2. karena waktu saja tidak cukup untuk menyakinkan hati, bahwa sanya
    lukisan2 itu mati
    jauh lebih lama dari kehidupan itu sendiri

    Doktaviaregina

    Suka

    doktavia regina

    Agustus 29, 2016 at 9:21 am


Tinggalkan komentar