Kumpulan Puisi Kompas

Arsip Puisi Mingguan Kompas Terbaru

PUISI AVIANTI ARMAND

with 4 comments

Buku Harian

 

Selalu ada langit tak berwarna

dan perempuan yang menulis di bawah langit seperti itu.

 

15 Desember

 

Lampu kristal itu menggantung tidak di tengah ruang.

Cahayanya ragu. Di seberang meja, tanganmu yang pucat

langsat memberi kode agar tirai-tirai dibuka. Aku beranjak,

tapi kamu berbisik, “Tidak sekarang.”

 

Di luar, jalan-jalan bercabang seperti argumen yang

membosankan. Sesekali derum mesin mobil menyela ruang.

Gelap menggosokkan tubuh ke jendela. Di sini, akar-

akar pohon menjalar seperti ular dan melilit kaki-kaki kursi

hingga tak bisa beringsut.

 

Makan malam – entah keberapa – dan aku, kamu, masih

Meninggalkan pertanyaan berdenting di atas piring.

 

“Beranikah kita?”

 

Akan tiba satu waktu di mana kita harus menjawab, akhirnya,

sebelum puding pencuci mulut. Sebelum dingin

menyamarkan keriput. Kita telah cukup mengukur hidup

dengan bercangkir-cangkir kopi dan bertumpuk-tumpuk

novel. Lihat, shawl yang melingkar di lehermu sudah

menumbuhkan jamur yang subur. Dan rambutku semakin

tipis.

 

“Bagaimana kita akan menyelesaikan ini?”

Dengan laku? Dengan dusta? Kita belum gila.

 

Kamu kembali menutup semua dengan memesan kopi dan

aku tahu tidak akan ada waktu yang baik.

 

Cahaya lampu menua. Aku masih bisa mendengar musik dari

ruang yang jauh – satu hari tempat kita mulai segalanya.

Bukan dengan firman, cuma kata-kata yang terjepit di antara

lidah dan langit yang tak berwarna.

 

20 Desember

 

Hari ini kita batal menonton film tentang kita. Tak seorang

pun pernah menemukan kita.

 

28 Oktober

 

Hujan mengubah jalanan musim kemarau semacam cermin

yang mengganti namaku jadi Biru.

 

kita adalah sepasang roh yang dikutuk gentayangan

selamanya. Dan hari ini, di tikungan itu, kita kembali

bertabrakan. Tak ada guruh, juga petir. Kita cuma saling

bercakap dengan datar. Dan menatap. Aku menawarkan

payung. Kamu mengangguk. Lalu kita pulang bersama

dengan teduh.

 

Jalan-jalan sempit. Tangga yang sambung-menyambung,

Dinding-dinding yang saling berdesak (tapi telah kebal

Pada klaustrofobia). Polisi yang basah kuyup. Kucing hitam

Yang menggigil di atas tembok. Pintu-pintu yang terkunci.

Apartemen-apartemen kosong. Jendela yang tak

memantulkan apa-apa selain gelap…

 

Tak ada yang lebih jauh dari bentang di balik tirai hujan di

tepi payung.

 

Ketika hujan berhenti, matahari telah pergi. Langit pekat, dan

kita tahu, tak akan ada pelangi.

Kata satu suara dari film lama:
Cinta adalah tentang waktu. Tak baik bertemu orang yang

tepat terlalu cepat atau terlambat.

 

Tapi hujan telah mengubah wajahmu semacam cermin yang

mengganti namaku jadi Biru.

 

7 November

 

Pohon-pohon di depan rumah tumbuh dengan rimbun.

Hari-hari ini, hujan mendesakkan hijau dan biru sekaligus.

 

14 Desember

 

Makan malam itu hanya akan mengoyak satu lembar lagi

dari buku harian kita. Sesudah itu kosong.

 

24 Desember

 

Di musim basah ini tak semuanya basah. Kita mengenal

tanda-tanda bersedia paham bahwa sebuah SMS

adalah jarak terdekat yang bisa kita tangkap.

 

“Mataku tetap kering.” Tulismu singkat.

 

25 Desember

 

Kali ini kamu mengeluhkan Santa Klaus yang tak datang

berkunjung.

“Mungkin kenapa kita terlalu tua untuk orang tua itu.” Aku

mencoba menghibur.

 

Kamu menggeleng. “Mungkin karena ‘kita’ adalah

‘salah’.”

 

31 Desember

 

Mimpi atau bukan, aku melihat bayanganku mengendap-

endap menuju pintu, menuju merkuri lampu jalan yang

menjadikannya. Ia tak berkata apa-apa. Tapi sebelum

mengungkit gerendel, bayanganku menoleh dan dalam

gelap aku melihat: seorang perempuan yang menulis.

Hurufnya luka.

 

Maret, 2013

 

 

Avianti Armand menulis karya sastra dan ulasan

Arsitektur. Buku puisinya, Perempuan yang Dihapus Na-

manya (2010), mendapat Khatulistiwa Literary Award

2011.

 

PUISI KOMPAS, MINGGU, 31 Maret 2013

Written by Puisi Kompas

April 2, 2013 pada 2:28 pm

Ditulis dalam Puisi

Tagged with

4 Tanggapan

Subscribe to comments with RSS.

  1. hiks…. hiks…. kisah tentang cinta yang datang terlambat….

    Suka

    Denok Anna

    April 3, 2013 at 2:13 am

  2. Reblogged this on gubuknya itaita.

    Suka

    itaita

    April 3, 2013 at 3:58 am

  3. Reblogged this on ARSITEKS and commented:
    Avianti Armand menulis karya sastra dan ulasan

    Arsitektur. Buku puisinya, Perempuan yang Dihapus Na-

    manya (2010), mendapat Khatulistiwa Literary Award

    2011.

    PUISI KOMPAS, MINGGU, 31 Maret 2013

    Suka

    Muhammad Azamuddin T

    April 29, 2014 at 6:00 pm


Tinggalkan komentar