PUISI SITOK SRENGENGE
Kereta
1
Sendiri di stasiun Tugu,
entah siapa yang ia tunggu
Orang-orang datang dan lalu,
ia cuma termangu
sepasang orang muda berpelukan
(sebelum pisah) seolah memeluk harapan
Ia mendesis,
Serasa mengecap dusta yang manis
Kapankah benih kenangan pertama kali tumbuh,
kenapa ingatan begitu rapuh?
Cinta mungkin sempurna,
tapi asmara sering merana
ia tatap rel menjauh dan lenyap di dalam gelap
: di mana ujung perjalanan, kapan akhir penantian?
Lengking peluit, roda + roda besi berderit,
tepat ketika jauh di hulu hatinya terasa sisa sakit
2
Andai akulah gerbong yang kosong itu,
akan kubawa kau dalam seluruh perjalananku
Di antara orang berlalang-lalu,
ada masinis dan para portir
Di antara kenanganku denganmu,
ada yang berpangkal manis berujung getir
Cahaya biru berkelebat dalam gelap,
kunang-kunang di gerumbul malam
Serupa harapanku padamu yang lindap,
tinggal kenangan timbul tenggelam
Dua garis rel itu, seperti kau dan aku,
Hanya bersama tapi tak bertemu
Bagai balok-balok bantalan tangan kita bertautan,
terlalu berat menahan beban
Di persimpangan kau akan bertemu garis lain,
begitu pula aku
kau akan jadi kemarin
kukenang sebagai pengantar esokku
Mungkin kita hanya penumpang,
duduk berdampingan tapi tak berbincang,
dalam gerbong yang beringsut
ke perhentian berikut
Mungkin kau akan tertidur dan bermimpi tentang bukan aku,
sedang aku terus melantur mencari mata air rindu
Tidak, aku tahu, tak ada kereta menjelang mata air
Mungkin kau petualang yang (semoga tak) menganggapku tempat perkir
Kita berjalan dalam kereta berjalan
Kereta melaju dalam waktu melaju
Kau-aku tak saling tuju
Kau-aku selisipan dalam rindu
Jadilah masinis bagi kereta waktumu
menembus padang lembah gulita
Tak perlu tangis jika kita sua suatu waktu,
sebab segalanya telah beda
Aku tak tahu kapan keretaku akan letih,
tapi aku tahu dalam buku harianku kau tak lebih dari sebaris kalimat sedih
Peretas
Seumpama pagi, kita pun lekas pergi
Sebagai sore, kita segera sampai
Dari dan ke pangkuan kelam
Di mana kita jadi penelusur gua gelita
Meraba, menaswir gema cinta
Terpisah dari yang selain desah
Raga melenggang bagai ganggang
Sukmaku menggapai sukmamu, bersitaut serupa kiambang
Larut dalam kelucak ombak pasang
Kulumur landai lampingmu sampai pasir menyerpih
Kudentur-dentur ceruk curammu hingga berbuih
Hingga kau-aku terhempas, terlepas, di altar tarikh
Peramlah separuh perih, sampai kaulihat rakit
dinahkodai cahaya fajar pertama dari kaki langit
Selebihnya biar kusemat di jantungku, betapapun sakit
Sebab, selagi selat susut semata kaki,
kita akan mulai saling mencari
Dipandu denyut nadi
Kuharap kita akan bersua di sebuah bukit hening
yang menyimpan mata air bening, di mana letih berbaring
seluruh luka pulih, seiring kita tandai segala yang asing
Dan di tanah yang sabar itu, hidup akan tumbuh
Kau bagian dariku, aku bagian darimu, dua jiwa satu tubuh
Senantiasa saling butuh. Tanpa yang lain kita tak penuh, tak utuh
Peladang
Minggu, menunggu kuncup cintaku menjigrah jingga
Bagai bunga angsoka di halaman putih sang kekasih
Senin, senantiasa tanganku terulur serupa pohon nyiur
Menjinjing tempayan berisi sari kasihku sesuci susu
Selasa, selalu lamunanku menjulur seperti sulur ubi
Tekun mengukir kesiur kenang tentangmu di jalur nadi
Rabu, rabuku bergetar sesamar cahaya di marwah mawar
Menggambar gairah meruap harap dengan cinta merona
Kamis, kambojalah aku putih lembut semburat ungu
Hirup harumku sebagai penangkal kalut kalbumu
Jumat, jumpai aku si pucuk bulu membelai bulan subuh
Gugup menggurat gurit rindu dendam sampai sembilu lebam
Sabtu, sabar sekalem kalammu setabah benih berubah buah
Sadar hidup hanya jeda sebelum jiwaku jumbuh kaurengkuh
Musim
Tak pernah henti cinta mencintai
Sampai usia tak letih silih mengisi
Dulu
sebelum menyatu
aku bergelar lapar
kau bernama dahaga
Sama-sama baru tiba dari hampa
Lalu
dibimbing waktu
aku melahapmu
kau meregukku
Sejak itu kita bukan lagi yang sediakala
Betapa perkasa cinta
Ia jelmakan kita jadi manusia
Kuhasratkan kau rebah di tanah
sebab aku petani yang tabah
setia membajak dan mengairimu
Hingga kau bunting
melahirkan nasi ribuan piring
Kadangkala aku pekerja pabrik gula
merawat ladang tebu
atau menjaga gerak mesin gilingmu
Agar tak cuma aku
tapi semua yang dekat kita
tetap bisa menikmati manismu
Dalam dambaku kau seindah musim basah
selalu murung dan menangis
setiap kausaksikan kawanan burung
meninggalkan hutan tropis yang hampir habis
Kubuka sawah dan kebun
menadah gairah yang rimbun
sebelum kau berpaling sebagai musim kering
membuatku gering rindu peluhmu
Aku bergantung padamu
Tak perlu kuminta kau jadi yang kumau
Cinta ibarat bunga: mereka indah
sudah itu layu lalu luruh demi buah
Petani dan musim
tak terpisah
Sitok Srengenge, penyair yang juga menulis
Novel dan esai. Bukunya antara lain, on
Nothing (puisi), Menggarami Burung Ter-
bang (novel), dan Cinta di Negeri Seribu Satu
Tiran Kecil (esai).
KOMPAS, MINGGU, 5 AGUSTUS 2012
Tinggalkan komentar