Puisi MARIO F LAWI dan SUSY AYU
MARIO F LAWI
Gela
/1/
Di dahiku masih ada tanda salib, dioleskan kakek dengan rasa haru
yang harum, sepotong kelapa, serta adonan sirih dan pinang dari
mulutnya. “Tanda ini, Cucuku, adalah awal keabadian.” Salibku
merah seperti mimisan ibu. Harum
seperti kencing pertama bayi
waktuku. Kusembunyikan isak dalam lemari, karena sejenak gagak
akan berganti burung kenari, sebelum tubuhku sansak bagi
peluru-peluru dinihari.
/2/
Dari jalan ke jalan, kakek sempatkan mencari Tuhan yang tergolek di
dalam selokan. Kadang ia temukan Tuhan menggantungkan nafasnya
dalam batang mayang di pucuk lontar. Tapi, rupanya nafas Tuhan tak
pernah cukup untuk menghabiskan linting tembakau yang biasa
disunggingkan kakek di ujung bibirnya. Dengan tigapuluh doa yang
sekarat, kakek mulai melayarkan perahu-perahu kecil ke lautan,
kepada leluhur yang mengajarkannya
cara merokok. Kepada pulau-
pulau yang menyusun kerajaan di antara waktu-waktu uzurnya.
Kepada lafaz yang tak habis-habis mengecap gula dan tuak di
dapurnya. Kepada segala sesuatu yang menyusun uban-uban di
kepalanya.
Berat punggungnya menanggung letih segala masa tuanya. Kakek
menatapku dengan rapuh. “Aku akan pulang. Jangan lupa
bertandang.” Kulihat wajah nenek di matanya. Kakek bergegas
menenteng ha’ba di padang Mahera. Kakinya mempermalukan pagi.
Domba-domba membicarakan suara yang tak lagi sanggup
mengangkat tongkatnya.
“Aku ke kota sebentar, Kek. Membelikan sebotol Sprite untukmu.
Kita tanam di dekat mataair belakang rumah. Agar kelak batang
mayang yang kukerat menumbuhkan pabrik benang dan tangan
pelangi untuk menenun kembali kisah cinta masa mudamu.”
Juga kursi roda dan dokter gigi untuk mengatasi masalah-masalah hari
tuanya yang dikirim penenung ulung di ujung kampung.
/3/
Wo Deo Muri, ne herae ta hero’de ri nyiu wou mangngi, mita rui
kedi ihi kuri, mita haga dara, mita ju medera, kelodo pa taga rihi
dula.*
(Nuimata, 2012)
Keterangan
*Salah satu doa dalam Daba-ritus inisiasi Kaum Jingitiu Suku
Nappu Pudi, Desa Pedarro, Kecamatan Huwa-Mehara, Kabupaten
Sabi-Ruija-dalam bahawa Hawu. Terjemahannya kira-kira: Ya
Allah sumber kehidupan, anak ini dioles-usapi dengan kunyahan
kalapa harum agar kuat dan segar tubuhnya serta jiwanya, supaya
bertambah besar dan tinggi, supaya mendapatkan tempat yang
tinggi/terhormat dalam keluarga dan marga.
MARIO F LAWI
Kelaga Rai
/1/
“Siapa yang mengambil pinang?!” seru nenek dari balik benang yang
belum selesai ia tenun. Benang menyimpan senyum, hanya akan ia
pamerkan ketika bunga selesai disusun. Nenek mengingat, dulu ia paling
cantik di dusun. Pengangumnya paling banyak, pendeta hingga penyamun.
Mata pisau kakek dirajah dengan nama nenek, kerap ia gunakan untuk
melihat pelepah sahaja yang matang. “Hari tua akan sangat panjang, Sayang.”
Di pelupuknya tergantung batang mayang. Dikeratnya perlahan kenangan
gamang. Sesekali getir melintas dingin dicelah kanopi bayang-bayang.
/2/
Masih juga ia gemar melintasi pekarangan. Angin cuma menumbuhkan tali
tak lebih dari seutas untuk mengikat kaki lontar yang gemar jalan-jalan.
Kakek menerawang sambil menikmati detik-detik terakhir ketika dada
tembakau mengejang dalam lintingan pucuk lontar keringnya yang tipis.
/3/
“Meliuklah ke utara! Di sana ada sebuah danau.”
Subuh lekas. Membelitkan cemas.
“Lalu tunjukkan yang bersembunyi di balik matamu!”
Dengung bergantian menaksir arah mataair dengan kayu bercabang
meski riwayat timba tak pernah berhasil mencapai kedalaman.
Kakek mendongakkan kepala, menatap pucuk-pucuk daun yang silih
berganti tersenyum ke arah matanya. Di tengah tatapan, ia tanggalkan
ubannya satu demi satu. “Ini untukmu. Ini untukmu. Ini juga untukmu.”
/4/
Hidup terlihat secantik nenek.
Kakek masih sangat tampan.
(Naimata, 2012)
SUSY AYU
Perjamuan
ini darahku
sesap baik-baik
ini dangingku
congkel lagi sekepal
di luar
sepi telah resah berkerumun
bagikan saja
sebab tiap sajak cuma gema di Getsemani
tidak, jangan berduka!
aku cuma seorang kekasih
yang bimbang menunggu
di kayu salibmu
(Yoyakarta, 2011-2012)
SUSY AYU
MENJADI GENANGAN
kamulah Toba
genangan air mata purba
duka yang membeku sebagai dinding kawah
kau kutuk aku dengan cintamu
berjaga sebagai mehnir di gerbang-gerbang huta
sampai kau sudahi tujuh puluh tujug ribu kangenku
dan selembar kartu pos
yang tak sampai ke manapun
(Bekasi, 2012)
SUSY AYU
Lebaran
hatiku sebatang kembang api
kau sulut dan terbakar di awang
sambil kau bertepuk tangan
kumaafkan engkau
untuk kegembiraan yang kekanak-kanakan
(magelang, 2011)
Mario F lawi dilahirkan di Kupang, Nusa Tenggara Timur, 18 Februari 1991.
Mahasisa Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Nusa Cendana, Kupang,
bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora.
Susy Ayu lahir di Purwakarta, Jawa Barat, 14 Juni 1972. Buku puisinya adalah
Rahim Kata-kata (2010) dan buku kumpulan cerpennya bertajuk Perempuan di
Balik Kabut (2011).
Tinggalkan Balasan